20 Oktober 1945
Menyusul kegagalan dalam pembebasan tawanan di Interniran Magelang dan Ambarawa, tentara SEKUTU yang diboncengi NICA mendarat di Semarang dibawah komando Brigadir Djendral Bethell. Gubernur Djawa Tengah, Mr Wongsonegoro menyambut baik kedatangan mereka dan menyediakan akomodasi yang dibutuhkan biar pembebasan para tawanan cepat terealisasi dan segera kembali ke Belanda. Pasukan TKR ( Tentara Keamanan Rakyat ) diperintahkan dan ditempatkan di Ambarawa dan Magelang untuk membantu kelancaran proses penyelamatan para tawanan di kedua Internir.
Magelang beberapa hari kemudian.
Letkol M. Sarbini sebagai komandan TKR Resimen Kedu, sisa sisa serdadu Jepang serta pelengkap pasukan yang beruntun tiba dari Banyumas membantu mempersiapkan segala sesuatunya. Menjaga di areal Interniran yang berisikan warga Belanda baik laki laki, perempuan, anak anak dan beberapa anggota KNIL yang diikutsertakan dipenjara oleh tentara Jepang.
Insiden terjadi.
Tentara SEKUTU yang diboncengi NICA begitu angkuh dan sepihak memutuskan bergotong-royong yang dibebaskkan hanyalah warga Belanda, sementara anggota KNIL dibiarkannya tetap di penjara. Protes para anggota KNIL-pun tak digubris dan justru terjadi bentakan disertai pemukulan terhadap anghota KNIL tersebut. Pejuang pejuang TKR yang tidak menduga akan terjadi menyerupai ini mulai tersulut amarahnya. Terlebih lagi dikala tentara SEKUTU dan NICA membagi bagikan senjata kepada para tawanan laki laki dan memaksa para serdadu Jepang dan TKR untuk menyerahkan senjatanya. Adu mulutpun percuma hingga tembak menembak jarak dekatpun terjadi. Korban dari kedua belah pihak mulai berjatuhan. Interniran Magelang sudah bukan daerah orang yang di-internir namun justru menjadi area pertempuran terbuka berebut kemenangan. Para pejuang TKR yang memang tidak siap untuk berperang mulai terdesak mundur dan tercerai berai, sebagian lari keluar dari areal Interniran dan ada yang terdesak ke sudut sudut penjara. Tentara SEKUTU dan NICA terus saja mengejar menembakinya. Suara bunyi desingan peluru semakin memekakkan telinga, erangan kesakitan dan pekikan ajal melengking hingga menembus tembok penjara. Semakin riuh bergemuruh dikala bunyi jeritan ketakutan anak anak dan wanita perempuan Belanda yang masih dibalik jeruji penjara. Sebagian pejuang TKR yang tersudut tanpa disadarinya terjebak didepan jeruji penjara wanita dan anak anak. Begitu sadar banyak wanita dan anak anak para pejuang TKR melambai lambaikan tangannya dengan maksud menghentikan tembak menembak yang akan membawa korban wanita dan anak anak warga Belanda.
Kejadian begitu cepatnya.
SEKUTU dan NICA sudah mata gelap dan tuli telinga, tak melihat ada siapa dibalik para pejuang TKR dan mendengar jeritan wanita dan anak anak ketakutan tak urung satu satu bergelimpangan korban tewas akhir peluru yang dimuntahkan pihak SEKUTU dan NICA.
Hanya dalam hitungan detik!
Tanpa memperhitungkan dirinya sendiri, salah satu pejuang TKR memerintahkan;" Cepat selamatkan dan jauhkan dari daerah ini tak peduli siapa mereka! Seorang pejuang muda membuka paksa pintu penjara serta mengajaknya keluar, sementara beberapa pejuang menjadi benteng santunan dan ada pula yang bergerak maju menghadapi tentara SEKUTU dan NICA.
Pejuang muda yang membuka pintu penjara berhasil keluar dari area Interniran beserta beberapa anak anak dan wanita yang berhasil selamat. Istirahat. Dua orang anak laki laki dan wanita tak berhenti menangis, satu orang ibu paruh baya berusaha menenangkan dua anak tadi, tiga orang gadis terduduk menatap jauh dengan wajah kemerahan menahan capek dan marah. Sambil berfikir harus bagamana 2 anak anak, satu ibu paruh baya dan 3 wanita ini, pejuang muda memandang jauh Interniran. Tak ada sekelebatpun pejuang lain, yang nampak hanyalah kemudian lalang dan sorak sorai kemenangan SEKUTU dan NICA yang masih tertutup asap dan serbuk mesiu.
Selesai, tampaknya selesai! Meski begitu saja mereka ditinggal pergi akan sama sama selamat.
Tanpa ada sepatah katapun Pejuang Muda memandangi satu satu, mulai ibu paruh baya yang terus menenangkan dua anak anak, menatap sayang dua anak yg masih terisak tangisnya, memandang rada malu 3 nonik Belanda. Baru saja berniat melangkah kaki meninggalkan mereka, bunyi begitu bersahabat bunyi deru kendaraan beroda empat tentara SEKUTU dan NICA menyisir hingga keluar area Interniran ke segala penjuru kota Magelang.
Melompatlah Pejuang Muda sembari menyambar senjata laras panjangnya. Lari dan lari beradu kencang dengan desingan peluru di kanan kiri tubuhnya. Jalan setapak dan berkelok dipilihnya, memasuki gerumbul naik turun perbukitan hingga jalanan terjal menyusuri sungai. Serasa absurd dalam larinya tak sekalipun menoleh ke belakang seolah ada yang mengikuti, kencang dan semakin kencang tanpa peduli bunyi suara tembakan sudah usang terhenti. Entah berapa jam lari, beban yang dirasa hanyalah merasa ada yang mengikuti. Berhenti dan memberanikan diri menoleh ke belakang. Benar. Ada yang mengikuti. Salah satu dari tiga gadis Belanda nampak jauh di belakang lari mengikuti jalannya. Ditunggunya gadis itu apakah benar ia sedang mengikutinya dan membatin,"... alangkah bodohnya gadis itu". Gadis Belanda itupun hasilnya menjatuhkan dirinya bersahabat Pejuang Muda. Nafas keduanya tundan bertalu disertai hembusan angin pepohonan dan bunyi serangga penanda akan hujan.
"Harusnya kamu tak ikut lari mengikutiku, niscaya selamat bersama sahabat temanmu tadi", Pejuang Muda memulai pembicaraan. Gadis Belanda hanya bangkit dari daerah menjatuhkan dirinya dan cuma duduk sambil menutup wajahnya yg menunduk. Tak ada jawaban. Salin pandang juga tidak. Yang ada hanyalah kesenyapan yang terbelenggu oleh kebisuan. Dalam senyap itu juga gadis Belanda sempat berfiikir apa yang dikatakan cowok itu; "...entah apa yang mendorongku untuk mengikutimu, begitu saja terjadi".
Yah, serangga penanda akan hujan itu benar adanya. Sore tertutup mendung menjadikannya malam.
" Jalan, sebelum hujan! Ajak Pejuang Muda.
"Nanti saya titipkan kamu dirumah pamong desa yang kita lewati", tambahnya.
Baru saja berdiri gadis Belanda terjatuh lagi dan kesakitan. Tak ada jalan lain kecuali harus memapahnya. Dengan dada berdebar Pejuang Muda menyentuh pertama kalinya seorang gadis Belanda. Demikian sebaliknya sang gadis merasa pasrah berserah diapakan juga oleh cowok itu. Berjalanlah mereka pelan tertatih dengan guyuran hujan deras yang justru menciptakan keduanya merasa tenang hidum telah kembali.
Sangat jauh mereka berjalan dalam malam yang masih saja dalam kucuran hujan. Terhenti oleh bunyi terdengar di balik reruntuhan candi.
"Pinarak kisanak, ngeyup mriki!
Merekapun berjalan ke arah bunyi tadi. Begitu ramah pawongan dan bukan sekedar basa basi ketika mengatakan rumahnya untuk berteduh. Bukan itu saja sajian minum, masakan juga diperkenankannya untuk menginap barang semalam tentu saja dipinjami pakaian kering.. Meski ada sosok gadis Belanda, tak ada sedikitun rasa curiga. Dialah Pamong Desa Ngawen. Bercerita Pejuang Muda kenapa dapat hingga di sini, sekaligus minta saran pada pak Pamong Desa Ngawen.
"Murih sae lan slamet, pun titipaken Pasturan kemawon, kajenge mbenjang pun teraken mawi dhokar kula".
"Kasinggihan pak, matur sembah nuwun".
Kecapekan teramat sangatlah Pejuang Muda dan gadis Belanda teridur menunggu pagi.
"Kisanak, sasampun ngeteraken dugi Pasturan sun pinarak mriki malih, estu", pinta pak Pamong Desa.
"Lik, ngati ngati, rada adoh ora papa ngalang siring wetan wae", pesan pak Pamong pada kusir dhokarnya.
Berangkatlah mereka bertiga menuju Pasturan dari arah Ngawen melalui Watucongol ke utara. Nyebrang jalan pecinan pribadi kearah jalan sempit pasar Jambu. Baru saja melewati pasar Jambu berpapasan dengan serombongan tentara SEKUTU n NCA. Melihat ada sosok pribumi bersenjata dengan gadis Belanda, sontak saja tembakan diarahkan pada diri kusir dan pemuda. Kusir dhokar tersungkur tertembak kepalanya. Pejuang Muda meski angkat tangan tanda mengalah tetap saja ditembak mengenai kakinya.
"Stop ermee! teriak gadis Belanda dan menghalangi tentara yang sudah membabi buta. Salah satu tentara mendekap ekspresi dan mendekap badan gadis Belanda yang terus berontak. Sebagian tentara memberondong badan Pejuang Muda yang sudah lumpuh tak berdaya. Dengan sekuat tenaga gadis Belanda itupun terlepas dari dekapan dan lari mendekati Pejuang Muda yang bersimbah darah. Sambil memegang tangan Pejuang Muda, gadis Belanda dengan kekuatan tersisa berkata;"....namaku Marijke".
Pejuang Muda meski masih sedikit nafas, tersenyum. Dan Pejuang Muda itupun meninggal dalam genggaman tangan seorang gadis yang gres saja diketahui namanya.
"Sampai sekarang, saya tak tau siapa namanya dan dimana dikuburkannya", begitulah Marijke mengakhiri ceritnya.
Peristiwa itulah yang membawa Marijke atawa dipanggil Suster Mery mangabdi menjadi Biarawati.
By : Gatot Andoko
0 comments:
Post a Comment